SIAPA pekerja seks paling laris di Makassar? Apakah yang paling cantik ataukah yang paling seksi? Suatu hari, saat terlibat dalam riset yang dilaksanakan Universitas Hasanuddin dan Unicef, saya pernah menanyakan itu pada beberapa pria hidung belang yang suka mangkal di Jalan Nusantara, kawasan prostitusi terbesar di Makassar.
Mulanya saya menganggap bahwa yang paling cantik adalah yang paling laris. Mulanya saya menganggap yang paling seksi adalah yang paling dicari. Tapi setelah mewawancarai sejumlah pria-pria tersebut, ternyata yang paling laris bukan yang paling manis, bukan pula yang paling seksi. Yang paling laris justru pekerja seks yang penampilannya biasa saja. Malah, penampilannya tidak istimewa. Beberapa di antaranya, tidak masuk kategori cantik.
Tak percaya? Saya pun demikian awalnya. "Rata-rata semua pria yang ke Jalan Nusantara tidak mau memilih yang paling cantik. Mereka pikir, pasti yang cantik banyak tamu tiap malam. Mereka lebih suka yang biasa-biasa saja, sebab yakin bahwa tamunya tidak banyak," kata seorang teman yang tiga kali seminggu ke tempat tersebut. Masalahnya, masih kata teman, dikarenakan semua pria berpikiran sama, maka pekerja seks yang cantik-cantik justru kekurangan tamu. Sementara yang biasa-biasa saja, justru laris bak kacang goreng.
Ini agak menggelikan. Tapi ini fakta. Saya sendiri tidak terlalu percaya keterangan teman tersebut. Saya lalu melakukan triangulasi, yang dalam dunia penelitian adalah upaya untuk melakukan cek and ricek pada beberapa orang demi mendapatkan data yang lebih valid. Rata-rata para pria mengiyakan keterangan tersebut. Sehingga saya berkesimpulan bahwa di dunia malam seperti ini, nilai-nilai seperti kecantikan justru tidak menjadi satu-satunya variabel dalam menjatuhkan pilihan. Semua orang punya kriteria sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh preferensi kultural masing-masing. Bagaimanapun, istilah cantik bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda bergantung pada faktor kebudayaan. Tidak ada definisi tunggal tentang cantik.
Kalaupun ada definisi yang sama tentang cantik, maka itu tetap saja tidak menjadi satu-satunya nilai yang mempengaruhi tindakan. Buktinya, yang cantik-cantik justru nganggur. Sementara yang biasa-biasa saja, bisa panen setiap malam.
Mungkin ini hanyalah kepingan kecil dari mitos-mitos dalam dunia hiburan malam. Selain mitos tentang kecantikan identik dengan banyak pakai, ada pula pria yang terjebak mitos bahwa pekerja seks yang masih muda akan lebih ”garing” sebab dianggap kurang pengalaman. Ini juga mitos. Di kalangan dunia malam, usia kadang tidak penting. Meskipun seorang pekerja seks sudah berusia agak tua, bisa saja jam terbangnya masih rendah. Sementara ada pula yang usianya masih 18 tahun, tapi setelah cek and ricek, jam terbangnya sudah bertahun-tahun.
Dalam dunia remang-remang seperti ini, para pria justru menjadi obyek yang juga gampang dibodohi. Banyak di antara mereka yang tidak mau sedikit menginvestigasi dengan siapa ia berkencan. Ia hanya berpikir, ”Saya datang, saya tembak, dan saya pulang.” Menurut hasil wawancara saya, para pria rata-rata ingin ditemani pekerja seks yang masih muda dan belum terlalu lama berkecimpung di dunia ini. Nah, dengan gampangnya para pengelola rumah hiburan memanipulasi usia karyawannya. ”Tuh, lihat yang sana. Kalau ditanya, umurnya 17 tahun. Tapi sebenarnya, dia udah 30 tahun dan punya tiga anak,” kata seorang teman sambil menunjuk seorang perempuan manis berkulit putih yang mengerling ke arahku, dalam satu kesempatan.
Saya rasa, mitos-mitos di dunia hiburan malam ini sangatlah banyak. Dan tidak mungkin untuk diurai dalam tulisan singkat ini. Mungkin pada kesempatan lain. Thanks.(*)